Sasaran Pemikiran

Berdasarkan kesepakatan para ulama (Jumhur Ulama’) dikatakan sebagai berikut:

اِنَّ الفِكْرَةَ فِيْ خَمْسَةِ اَوْجُهٍ: فِكْرَةٌ فِى آيَاتِ اللّٰهِ يَتَوَلَّدُ مِنْهَا التَّوْحِيْدُ وَاْليَقِيْنُ، وَفِكْرَةٌ فِى آلاَءِ اللّٰهِ يَتَوَلّدُ مِنْهَا المَحَبَّةُ وَالشُّكْرُ، وَفِكْرَةٌ فِى وَعْدِ اللّٰهِ تَعَالَى يَتَوَلَّدُ مِنْهَا الرَّغْبَةُ، وَفِكْرَةٌ فِى وَعِيْدِ اللّٰهِ يَتَوَلَّدُ مِنْهَا الهَيْبَةُ، وَفِكْرَةٌ فِى تَقْصِيْرِ نَفْسِهِ عَنِ الطَّاعَةِ مَعَ إِحْسَانِ اللّٰهِ إِلَيْهِ يتَوَلَّدُ مِنْهَا الحَيَاءُ

“Sesungguhnya pemikiran itu tertuju pada lima sasaran, yaitu : Berpikir tentang bukti-bukti kebesaran Allah, hal ini dapat menimbulkan tauhid dan yakin. Berpikir tentang anugerah-anugerah Allah, hal ini dapat menimbulkan mahabbah dan syukur. Berpikir tentang janji-janji Allah, hal ini dapat menimbulkan kecintaan kepada hari akhirat, Berpikir tentang ancaman-ancaman Allah, hal ini dapat menimbulkan rasa gentar berbuat maksiat. Dan berpikir tentang kekurangan diri sendiri dalam mengabdi. Padahal terlalu banyak Allah memberi kebaikan, hal ini akan membuahkan rasa malu terhadap Allah.”

Sayyidina Ali karramallaahu wajhah juga pernah mengatakan, “Tidak ada ibadah (yang lebih sempurna) seperti berpikir.”

Sebagian orang makrifat mengatakan, “Bertafakur merupakan penerang hati, jika ia hilang, maka hatinya tidak akan bersinar.” Sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadits berikut ini :

“Berpikir satu jam (sesaat), lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun.’’

Syaikh Al Hafni berkata, “Berpikir tentang perkara-perkara yang diciptakan Allah, sakaratul maut, siksa kubur dan ketakutan-ketakutan pada hari kiamat, itu lebih baik daripada beribadah yang banyak, karena dengan cara itu kebaikan akan menjadi teratur.”

Khalik Ar Rasyidi juga mengatakan, “Tafakur (berfikir) tidak akan berhasil, selain dengan senantiasa berdzikir dengan ucapan yang disertai hati, sehingga dzikir tetap berada dalam hatinya. Keberhasilan kedudukan ini menunggu kemakrifatannya, karena jika tidak makrifat kepada Allah, bagaimana mungkin dzikirnya itu akan tetap berada dalam hati dan lisan nya.”

Makrifat, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibrahim, adalah kenaikan, yakni menetapkan Yang Maha Benar diatas segala yang dikuasainya serta Dia itu berbeda dengan segala yang dipahamkan. 

Sasaran-sasaran tafakur itu banyak, berbagai bukti kebesaran Allah adalah sasaran pemikiran yang paling mulia. Yang dimaksudkan disini adalah berfikir tentang berbagai keajaiban dalam titah-titah Allah, bukti-bukti kekuasaan Allah, baik bathiniyah maupun lahiriyah dalam segala benda yang tersebar di jagad raya ini, juga berfikir tentang berbagai keistimewaan yang ada dalam diri kita masing- masing. 

Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Yunus ayat 101 yang artinya sebagai berikut:

“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. ”

Firman-Nya pula dalam surat Adz-Dzaariyat ayat 20-21 yang artinya nebagai berikut:

“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan.”

Dengan bertafakur kepada ayat-ayat Allah, maka akan melahirkan tauhid dan yakin. Bentuk tafakur seperti ini akan menambahi kemakrifatan kepada Dzat Allah, sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya surat Fushshilat ayat 53 yang artinya icbagai berikut:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di setiap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu benar.”

Selanjutnya, yakin yang merupakan buah dari pemikiran itu sendiri akan menghasilkan kegunaan lagi, antara lain: tentram dalam mengharapkan janji Allah, mantap terhadap jaminan Allah, menghadapkan seluruh minat dirinya kepada Allah dengan menghindari segala sesuatu yang dapat memalingkannya dari Allah dan kembali kepada Allah dalam segala halnya, dan akhirnya mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai ridha dari Allah.

Adapun berpikir tentang anugerah-anugerah Allah, adalah sebagaimana yang diisyaratkan dalam beberapa firman Allah sebagai berikut:

“... maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah, agar kalian beruntung. ” (QS. Al A’raf : 69)

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya.” (QS. Ibrahim : 34)

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An Nahl : 53)

Dengan berfikir seperti ini, maka cinta dan syukur, yaitu buah dari tafakur ini akan menimbulkan kecintaan kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya lahir dan bathin, sebagaimana Dia mencintai dan meridhai kita.

Sedang berfikir tentang janji-janji Allah, maksudnya adalah janji-janji Nya yang berhubungan dengan berbagai amal perbuatan yang menjadi kegemaran para kekasih Allah, juga berbagai amal perbuatan yang telah dijanjikan sebagai sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebagaiman.i yang telah ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya surat As Sajdah ayal 18 yang artinya sebagai berikut:

“Maka, apakah orang-orang yang beriman itu sama dengan or-ang yang fasik (kafir) ? Tentu mereka tidak sama.”

Firman-Nya pula dalam surat Al Lail ayat 5-7 yang artinya sebagai berikut:

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertagwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka nanti Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”

Dan juga firman Allah dalam surat An Nuur ayat 55 yang artinya sebagai berikut:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di-antara kamu dan orang-orang yang beramal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.”

Allah juga telah berfirman di dalam surat Al Infithar ayat 13 yang artinya sebagai berikut:

“Sesungguhnya mereka yang banyak berbakti, benar-benar berada di dalam surga yang penuh nikmat.”

Dengan berfikir seperti ini, maka akan menimbulkan rasa cinta kepada akhirat. Buah tafakur adalah mencintai orang-orang bahagia, beramal seperti amal-amal mereka, dan berakhlak seperti akhlak-akhlak mereka.

Dan berpikir tentang ancaman-ancaman Allah adalah dengan cara menjauhi akhlak-akhlak yang disifati oleh Allah kepada musuh-musuh-Nya dan perkara-perkara yang telah disiapkan oleh-Nya untuk mereka, yakni siksa dan bencana. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Infithar ayat 14 yang artinya sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka, benar-benar dalam neraka."

Firman-Nya pula dalam surat Al Ankabut ayat 40 yang artinya sebagai berikut:

“Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada (pula) yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Berfikir seperti ini akan melahirkan rasa takut berbuat maksiat kepada Allah.
Dan tentang berfikir mengenai kekurangan-kekurangan yang terdapat pada diri sendiri dalam berbuat ketaatan kepada Allah, padahal Dia telah banyak memberikan anugerah, Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya surat Adz Dzaariyat ayat 56 yang artinya sebagai berikut:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Dan juga firman Allah dalam surat Al Mu’minuun ayat 115 yang artinya sebagai berikut:

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami."

Berfikir dalam hal ini akan melahirkan rasa malu, maksudnya akan menambah rasa takut kepada Allah, sehingga menyalahkan diri sendiri dan mencacinya, menjauhi kelalaian dan menggiatkan ibadah.

Disamping itu, sasaran lain dari berpikir adalah berpikir tentang ilmu dan pandangan Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Qaaf ayat 16 yang artinya sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

Allah juga telah berfirman di dalam surat Al Hadiid ayat 4 yang artinya sebagai berikut:

“Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Firman-Nya pula dalam surat Al Mujaadalah ayat 7 yang artinya sebagai berikut:

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengeta-hui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya.”

Buah dari berpikir masalah ini adalah melahirkan rasa malu dilihat Allah, jika melakukan perkara yang dilarang-Nya.

Diantara sasaran berpikir adalah berpikir mengenai dunia ini, kesibukan-kesibukannya dan hilangnya segala kesibukan tersebut. Selain itu, berpikir tentang akhirat, kenikmatan dan kekekalannya. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 219-220 yang artinya sebagai berikut: 

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu berfikir, tentang dunia dan akhirat.”

Dan firman-Nya pula dalam surat Al A’la ayat 16-17 yang artinya sebagai berikut:

“Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Dan firman-Nya pula dalam surat Al Ankabut ayat 64 yang artinya sebagai berikut:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”

Adapun sasaran pemikiran yang lain adalah memperhatikan saat datangnya kematian, terjadi kerugian dan penyesalan jika tidak semaksimal mungkin dalam memanfaatkan kesempatan hidup. 

Sasaran pemikiran kali ini dapat membuahkan berkurangnya lamunan yang bukan-bukan, untuk selanjutnya memperbanyak amal shaleh dan lebih gigih lagi dalam menghimpun bekal menuju akhirat. Kaitannya dengan ini, Allah telah berfirman di dalam kitab Nya surat Al Jumu’ah ayat 8 yang artinya sebagai berikut:

“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa- apa yang telah kamu kerjakan."

Dan firman-Nya pula dalam surat Al Munaafiquun ayat 9 yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsia-pa yag berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi."

Dalam surat yang sama ayat 11 Allah juga telah berfirman yang artinya sebagai berikut:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya."

Dalam pelaksanaan pemikiran-pemikiran pada sasaran-sasaran tersebut diatas, hendaklah memperhatikan pula petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam firman Allah tersebut, hadits dan atsar. Dan harus dijauhi adanya pemikiran tentang Dzat dan sifat Allah, serta proses terjadinya hakikat yang seperti itu.

Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw. di dalam sabda-nya berikut ini :

"Berpikirlah kalian tentang tanda-tanda kebesaran Allah, dan jangan berpikir tentang Dzat Allah, karena kalian tidak akan mampu mengetahui kedudukan yang sebenarnya ”.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Akan Lima Perkara dan Melupakan Lima Lainnya

Pelindung Terhadap Lima Perkara

Lima Perkara yang Tidak Boleh Diremehkan